728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Sabtu, 06 Juli 2013

Kaderisasi Kepemimpinan Terpayah Ala Si Pulan

Tulisan saya kali ini bisa jadi membuat telinga merah bagi yang merasa. Namun biarkanlah, apapun itu sebagai manusia yang tak sempurna, selayaknya tetap saya menghaturkan maaf …maaf…dan maaf. 

Pembaca yang budiman, hampir sebagian besar manusia Indonesia bilamana membicarakan sosok pemimpin pastilah berkaitan dengan cerminan dari buruk rupa kaderisasi organisasi. Organisasi hanya identik dengan perebutan kekuasaan, miskin pewarisan nilai-nilai dan pem­ben­tukan karakter. Organisasi boleh saja berlabel agama, tetapi perilaku kadernya tidak berbeda dengan organisasi preman sekalipun” astaghfirullah…!!!

“Bila seorang pemimpin telah mengerjakan tugas kepemimpinannya, pastilah jejaknya tidak sulit untuk dilacak. Jejak ke­pe­mim­pinannya akan menjadi model pem­be­lajaran abadi.  Seorang pemimpin de­ngan kaliber yang mengagumkan, selalu memiliki jejak yang jelas, sehingga setiap orang atau generasi berikutnya dapat memahami model, strategi bahkan filosofi yang dianutnya. Karena itu, jejak kepemimpinanya akan berkemampuan mengangkat motivasi dalam kandidat pemimpin lainnya, sebab jejak ke­pe­mim­pinannya mudah untuk ditiru dan di­kem­bangkan.

Kita bisa mereview persoalan ka­de­ri­sasi pemimpin ini dari awal Era Re­for­masi tahun 2008 silam. Sejatinya, gerakan Reformasi tersebut  telah meng­giring hampir seluruh organisasi di negeri ini ke dalam kancah “pasar bebas” yang miskin  idealisme, norma dan regulasi. Era ini menjadi wahana per­tarungan multi ideologi pragmatis yang hanya menguntungkan kelompok-ke­lom­pok pemilik sumberdaya yang kuat semata.

Gerakan Reformasi di Indonesia juga terlanjur memberikan kepercayaan yang terformalisasi dengan kekuasaan “sangat besar” kepada organisasi yang berlabel partai politik untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Sistem kenegaraan dan pemerintahan kita menempatkan organisasi partai politik  pada posisi sentral, dan wadah kaderisasi elit-elit negara dan pemerintahan di Indonesia. Padahal, jika dilihat dan di­cer­mati dari proses lahir, tumbuh dan ber­kembangnya organisasi partai-partai politik di Era Reformasi ini, kehadiran sebagian besar partai politik, secara umum berlangsung  secara “instant”. Sedikit sekali partai politik yang memiliki landasan ideologi dan fatsun politik yang jelas.

Saat ini,organisasi partai politik lah yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi dan undang-undang untuk mensuplai kader-kader pemimpin bangsa, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga di tingkat nasional. Tetapi iro­nis­nya, rekruitmen yang dilakukan partai politik untuk menjadi kader-kadernya, tidak diiringi dengan kriteria dan akun­tabilitas yang kuat. Dengan alasan hak asasi manusia, siapa saja bisa menjadi kader partai politik, tanpa kualifikasi kompetensi serta keahlian yang jelas. 

Tidaklah mengherankan, seseorang dengan latar belakang tukang jagal hewan, karena memiliki kedekatan dengan elit-elit partai politik, atau memiliki pergaulan yang bagus dengan masyarakat, dapat dengan mudah duduk menjadi seorang regulator di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Atau, bisa juga seorang pesolek yang memiliki paras yang rupawan dan cantik jelita, sehingga mudah bergaul dengan siapa saja, dapat dengan gam­pang mengalahkan  seorang sarjana hukum yang memiliki kompetensi yang  baik sebagai seorang legislator. Lagi- lagi saya tertawa…hahahaha.

Kader-kader partai politik seperti inilah yang akhirnya bermetamerfosa menjadi kekuatan  yang besar di par­lemen nasional maupun tingkat lokal. Tapi ironisnya, justru di tangan me­re­kalah nasib masyarakat, pengalokasian uang negara dan nasib abdi negara diserahkan secara bulat-bulat. Ce­la­ka­nya, hampir tidak satupun regulasi dan kebijakan publik yang hadir di negeri, tanpa campur tangan partai politik. Organisasi partai politik, baik ditingkat lokalmaupun nasional tumbuh seperti “wakil tuhan di bumi” yang diberikan “lisensi” untuk mengajukan kader-kader pemimpin di setiap tingkatan pe­me­rin­tahan kita.

Di tingkat lokal, partai politik  se­per­tinya tampil sebagai organisasi “untau­chable”. Sampai dengan Mei 2013, sudah terpilih sebanyak 904 pasang KDH/WKDH melalui Pilkada langsung sejak tahun 2005. Seluruhnya adalah “kader”  partai politik yang bermetamerfosa menjadi pemimpin di tingkatan dae­rah­nya masing-masing. 

Namun ketika kurang lebih 300 orang KDH/WKDH  (16,5 %)  tersangkut masalah hukum dan menjadi tersangka karena pelanggaran  hukum, ternyata tidak satupun  partai politik pengusungnya yang bertanggung jawab atas “perbuatan” kadernya ter­se­but, organisasi partai politik cenderung  cuci tangan.

Organisasi partai politik yang me­la­hir­kan kader-kader pemimpin menjadi gubernur, bupati maupun wali kota ter­sebut, sepertinya memutuskan “hu­bu­ngan moral” dengan kader-kader yang diusungnya, dan cenderung menghindar dan tidak bertanggung jawab terhadap  kebijakan dan kinerja kader-kader yang telah dipromosikan  menjadi pemimpin. Inilah potret kaderisasi kepemimpinan ala Era Reformasi yang sesungguhnya terjadi dewasa ini.

Demikian juga ketika maraknya fenomena disharmonisasi atau pecah kongsi antara KDH dengan WKDH yang terjadi pada 96 % kader pemimpin yang pernah diusung partai politik, boleh dikatakan tidak terlihat  upaya organisasi partai politik untuk menyelesaikan persoalan  tersebut. Padahal, fenomena pecah kongsinya KDH  dengan  WKDH tersebut, memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kinerja birokrasi pemerintahan daerah.

Si Pulan harusnya tegas menunjuk organisasi partai politik lah, diantara organisasi yang  memiliki wajah buruk rupa dalam sistem kaderisasi pemimpin  di negeri ini. Keterbukaan untuk me­nyam­pai­kan data dan fakta apa adanya, ada­lah  wujud akuntabilitas kita untuk ber­kontribusi memberikan masukan bagi penyelesaian masalah di negeri ini.

Perlu juga dicermati pendangan bahwa kaderisasi pemimpin juga terkait dengan bakat. Seorang pemimpin sadar bahwa bakat merupakan potensi yang telah ada dan bukan sesuatu yang di­ingin­kan. Karenanya, pengembangannya wa­jib bertolak dari  semua bakat-bakat yang dimiliki. Tidak ada bakat yang le­mah, yang ada adalah bakat yang belum ditumbuhkan.
Organisasi partai politik men­dapat­kan legitimasi untuk menjadi wadah pengembangan bakat-bakat kader pe­mim­pin di negeri ini.  

Untuk itu, amatlah pen­ting bagi organisasi partai politik untuk mengembangkan bakat-bakat kadernya  secara positif. Bukan hanya sekedar melakukan rekruitmen, tetapi tidak mampu mengarahkan  dan me­num­buhkan bakat-bakat kadernya untuk men­jadi pemimpin yang berkualitas  dan ber­guna bagi bangsa dan negara.

Dengan sistem rekruitmen dan ikh­tiar yang dilakukan organisasi partai politik terhadap bakat-bakat ke­pe­mim­pinan yang ada  selama ini,  maka Nashrian tidak perlu berkecil hati bila be­lum terlihat jejak kepemimpinan yang jelas hingga saat ini, karena organisasi yang ada memang belum mampu meng­hadirkan kader pemimpin yang me­nga­gum­kan.

Kita juga tidak akan dapat  me­ne­mu­kan model, strategi dan filosofi yang kuat da­ri jejak pemimpin yang dapat ditiru dan dikembangkan secara positif dalam ke­hi­dupan  berbangsa dan bernegara di era reformasi ini, karena organisasi yang sudah mendapat dukungan dan  ke­per­ca­yaan secara legal dari negara pun, be­lum mampu mewujudkannya. Lalu sampai kapan ini berlangsung? Kita, anda, mereka, kalian, dan sampeyanlah yang mampu menjawabnya.***

Penulis : Denny Sinatra (Pemimpin Redaksi metrosurya.com)



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kaderisasi Kepemimpinan Terpayah Ala Si Pulan Rating: 5 Reviewed By: Unknown