728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Jumat, 21 Juni 2013

Kebijakan "Cuci Piring" Ala Beye

Acap kali kenaikan BBM benar-benar menyita energi, fikiran dan tenaga bangsa ini. Demonstrasi penolakan atas kebijakan yang dianggap tak bijak itu bergejolak dimana-mana. Tentu saja ada harga sosial yang harus dibayar mahal untuk semua itu.

Ongkos ekonomi begitu mencekik dirasakan rakyat. Baru sebatas wacana kenaikan harga BBM saja dalam hitungan kedipan mata, pasar seketika bergolak. Harga berbagai bahan pokok dan lain sebagainya langsung meroket. Tak peduli apakah nantinya akan resmi di naikkan atau tidak.

Sementara itu, di kalangan pemangku kekuasaan berteriak lantang membengkaknya subsidi BBM yang tahun ini mencapai Rp 193 Triliun tersebut berakibat jebolnya postur APBN sebesar Rp 1.500 Triliun. Tak hanya itu, subsidi energy sebesar Rp 309,9 Triliun ketiban sampur juga jadi penyebab jebolnya APBN.  

Selain BBM, Jembatan Selat Sunda yang pan­jang­nya sekitar 29 kilometer bila dibangun bakal menghabiskan sekitar Rp 100 triliun. Padahal, jembatan itu sangat penting umtuk menggenjot ke­se­im­bangan ekonomi Jawa dan Sumatera. Tol trans Jawa yang sudah terbengkalai bertahuntahun itu saja, totalnya juga sekitar Rp 100 triliun. Jembatan Suramadu hanya menghabiskan se­kitar Rp 6 triliun, bahkan jembatan tol di atas laut di Bali nilainya hanya Rp 2,4 triliun. Semua proyek serupa itu diharapkan berjalan lancar bila BBM tak disubsidi.

Besarnya subsidi BBM disebabkan secara keekonomian harga BBM premium yang kita beli sehari-hari sekitar Rp 9.500–10.000 per liter (bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia). Sementara harga yang kita bayar Rp 4.500. Ini berarti pemerintah paling tidak menyubsidi Rp 5.000 per liter setiap para pemilik mobil membeli premium. Memang aneh, mereka yang kuat membeli mobil malah minum BBM subsidi untuk rakyak miskin.

Secara alur ekonomi, subsidi harus dipangkas. Itu benar dan tak ter­bantahkan. Subsidi yang sangat besar itu seharusnya bisa menjadi belanja modal pembangunan infrastruktur serta peningkatan pelayanan kesehatan atau pendidikan. Cuma yang harus kita cermati, kebijakan kenaikan BBM sering diwarnai aroma politik. Pilpres atau pileg sering menjadi palang rintang dalam kebijakan itu.

Pemerintah SBY-Boediono saat ini mengaku sangat berat menanggung subsidi yang semakin liar dan tak terkendali. Seharusnya tak perlu pusing bila tidak melakukan politik tarik ulur. Pada tahun terakhir periode pertama pemerintahannya SBY sempat me­ne­rapkan policy yang membingungkan.

Pada 24 Mei 2008, BBM (bensin premium) yang saat itu berharga Rp 4.500 dinaikkan menjadi Rp 6.000. Lantas 1 Desember 2008 harganya diturunkan menjadi Rp 5.500, dan dua pekan kemudian, 15 Desember 2008, diturunkan menjadi Rp 5.000. Lantas 15 Januari 2009, tepatnya tiga bulan menjelang pemilihan umum dan lima bulan menjelang pemilihan presiden 2009, SBY mengembalikan harga BBM ke angka Rp 4.500.

Sulit dikatakan bahwa kebijakan ini tak ada hubungannya dengan momentum pileg dan pilpres. Sebab, langkah SBY itu telah membuatnya meraih keuntungan politik yang sangat sig­nifikan untuk mengantarkannya kem­bali menang.

Di sisi lain, harga BBM Rp 6.000 yang dianulir itu telah dibayar dengan biaya sosial yang tinggi. Artinya, saat harga BBM naik, demo dan protes muncul di mana-mana. Polisi sudah bekerja keras meredamnya. Tapi, harga yang sudah melewati ”ujian sosial” itu malah ditarik kembali oleh SBY.

Kini, politik BBM menjelang Pemilu 2009 itu membuat kita tersiksa secara ekonomi. Coba, seandainya harga Rp 6.000 itu tetap dipertahankan hingga sekarang, subsidi yang dikeluarkan tidak sebesar ini. Dengan demikian, kita bisa membangun infrastruktur besar. Coba kita asumsikan selisih harga Rp 1.500 dikalikan dengan kuota BBM subsidi mencapai 45 juta kiloliter selama 2013. Berapa triliun yang seharusnya bisa dihemat. Apalagi, itu sejak awal 2009 (kebijakan BBM kembali diturunkan menjadi Rp 4.500).

SBY sendiri juga pernah ”cuci piring” rezim sebelumnya akibat harga BBM terlalu rendah dibanding harga pa­sar. Pada awal pemerintahan SBY-JK, saat bulan madu di istana, mereka ju­stru menaikkan harga BBM secara ekstrem. Pada tahun pertamanya itu, 2005, mereka menaikkan harga BBM dua kali. Pertama, harga BBM pe­ninggalan Mega Rp 1.810 dinaikkan men­jadi Rp 2.400. Lantas masih pada ta­hun itu yang sama harganya naik menjadi Rp 4.500. Kenaikan di awal era SBY yang lebih 100 persen (akumulatif dua kenaikan) itu adalah yang terbesar selama ini.

SBY-JK terpaksa kerja keras men­cuci piring karena sejak 2003 pe­me­rintah Mega berusaha tidak menaikkan harga BBM. Tentu pemerintahan Mega memilih memberikan subsidi daripada harus membayar biaya politik besar menghadapi Pemilu 2004. Toh, Mega ternyata tetap kalah di pilpres. SBY yang menjadi pemegang tongkat estafet menangung risiko yang terpaksa men­cuci piring besar-besaran itu.

Kini SBY me­naik­kan harga BBM. Bagi SBY yang sudah tak maju lagi, lapang saja membuat kebijakan tidak populis, untuk me­naik­kan harga BBM. Tentu, sudah tak ada lagi kebijakan menurunkan BBM se­perti menjelang Pilpres 2009. Tapi, kebijakan ini akan membuat pe­ng­gan­tinya tak perlu segera ”cuci piring” di awal masa jabatan meski harga BBM be­lum menjumpai titik keekonomian. Itu kalau SBY tidak menurunkan lagi harga BBM menjelang pileg dan Pilpres 2014, demi Demokrat. ***

Penulis : Deny Sinatra/ Pemimpin Redaksi metrosurya..com


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kebijakan "Cuci Piring" Ala Beye Rating: 5 Reviewed By: Unknown