728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Minggu, 16 November 2014

Tiga ‘Kartu Sakti’ Ala Jokowi Dianggap Pencitraan

Ada yang menilai program itu berbau politis, tapi ada juga yang menilai program itu bagus bagi masyarakat miskin.

Peluncuran tiga kartu sakti oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tak melulu mendapat penilaian positif. Sebagian kalangan menilai peluncuran tiga kartu sakti itu bermuatan politis. Sebagian lagi mendukung program tersebut karena mempeluas jangkauan rakyat miskin.

"Tanpa sosialisasi masyarakat bingung dengan kartu sakti yang baru diluncurkan Presiden Jokowi. Karena sebelumnya sudah ada BPJS Kesehatan, Jamkesmas, Askes, dan lain-lain," ujar Ketua  Program Studi Kesejahteraan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Siti Nafsiah Ariefuzzaman.

Nafsiah berpandangan, peluncuran tiga kartu sakti cenderung politis karena bersamaan dengan rencana kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurutnya, pemerintah mesti menjelaskan kepada masyarakat terlebih dahulu mengenai program tiga kartu sakti tersebut.

Dia mengakui bahwa negara memiliki tiga kewajiban utama dalam mensejahterakan rakyat yaitu mewujudkan masyarakat yang sehat, sejahtera dan pintar. Namun, masyarakat di tingkat bawah bukan tidak mungkin merasa bingung dengan adanya transfer uang yang nilainya ratusan ribu rupiah bagi masyarakat miskin. Ia khawatir jika tidak dilakukan sosialisasi akan rawan terjadinya penyelewenangan.

Ironisnya, kata Nafsiah, pemerintah tidak satu kata ketika menjelaskan program kartu sakti. Misalnya, penjelasan antara Presiden Jokowi dengan menterinya terkait anggaran dana kartu sakti berbeda. "Jadi memang peluncuran kartu sakti itu tergesa-gesa, nyaris tak ada koordinasi di internal pemerintah sendiri. Sehingga jawaban kepada masyarakat berbeda-beda," ujarnya.

Nafsiah mengatakan, masyarakat dalam menerima program pemerintah mesti didahului dengan informasi yang lengkap. Termasuk hak dan konsekuensi masyarakat. Ia berpandangan, dengan kartu sakti pemerintah dinilai menciptakan ketergantungan masyarakat lantaran bersifat tunai (cash).

Menurutnya, program pemerintah itu tak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai yang digagas mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Tidak ada unsur pemberdayaan, tak ada edukasi, tak ada impowerment. Tapi, kalau pemerintah yakin kartu sakti itu baik, maka pemerintah harus konsisten," ujarnya.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi, pada 3 November 2014 lalu, telah menandatangani
Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.

Inpres tersebut
 ditujukan kepada sejumlah kementerian dan lembaga negara. Yakni, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial, dan Menteri Agama.

Selain itu, Inpres No. 7 Tahun 2014 juga ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BPKP, Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Dirut BPJS Kesehatan, para Gubernur, dan para Bupati/Walikota.

Tidak Tumpang Tindih
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, mengatakan apapun bentuknya program pemerintah diharapkan tidak tumpang tindih. Pasalnya, Badan Penyelenggara Jasa Sosial (BPJS) Kesehatan sudah mulai diberlakukan di masyarakat.

Kendati demikian, dengan adanya banyak program pemerintah yang berorientasi kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan setidaknya dapat memperluas jangkauan bagi masyarakat miskin. "Banyak program makin baik untuk memperluas jangkauan, asal tidak tumpang-tindih," katanya.

Dia mengakui, masyarakat masih bingung dengan mekanisme pelayanan kesehatan, melalui BPJS misalnya. Soalnya, pasien masih dibebankan untuk membayar biaya obat oleh rumah sakit yang bekerjasama dengan pemerintah melalui program tersebut.
"Semua sudah ada prosedurnya, dan masih terdapat ketidaksinkronan dan ketidakjelasan. Informasi itulah yang harus disosialisasikan ke masyarakat, agar tidak membingungkan," ujarnya.

Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Bambang Sulastomo berpandangan pemerintah mesti memberikan informasi perihal rumah sakit mana saja yang dapat menerima pasien pemegang KIS. Terlepas masyarakat pemegang KIS maupun peserta BPJS mesti diberikan pelayanan terbaik, tanpa terkecuali dari kalangan kaya maupun miskin.

Namun idealnya, kata Sulastomo, antara KIS dengan BPJS terintegrasi. Pasalnya, semangat BPJS adalah gotong royong melalui subsidi silang. "Seharusnya, KIS itu diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan, mengingat ngurus orang miskin perlu bantuan orang yang kaya," pungkasnya.

Payung Hukum dan Anggaran Dipersoalkan
DPR meminta pemerintah untuk menjelaskan soal dana atau anggaran yang digunakan untuk membiayai program tersebut.
 
"Itu juga (harus jelaskan) kartu itu mesti tender. Kartu yang dipakai itu bisa lima ribu per satu kartu. Kalau lima ribu rupiah kali lima belas juta, sudah berapa coba. Berapa triliun cuma kartu doang. Yang di atas satu miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Ini tidak main-main," ujar Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah di Gedung DPR.
   
Anggota DPR Supriyatno menambahkan, pemerintah mesti menjelaskan asal anggaran dana yang digunakan pemerintah. Pasalnya, anggaran kesehatan masyarakat
 sudah diakomodir melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Apalagi, penyelenggaraan jaminan kesehatan melalui BPJS telah terdapat payum hukum.
 
"KIS belum ada payung hukumnya, kita harus pertanyakan nanti anggarannya dari mana, karena belum dibahas dengan DPR," ujarnya.
  
Ini Isi Inpres Kartu Sakti Jokowi
Sebagaimana dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, diinstruksikan pengambilan langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat bagi keluarga kurang mampu, dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha.
Khusus kepada Menko PMK, Presiden Jokowi menginstruksikan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan pengawasan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat; penanganan pengaduan masyarakat terkait pelaksanaan program tersebut dengan melibatkan Menteri terkait, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan; dan meningkatkan koordinasi dan evaluasi program-program itu pada Kementerian/Lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang PMK.
"Melaporkan kepada Presiden atas pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan," bunyi KEDUA poin 1b Inpres tersebut.
Presiden juga menginstruksikan Menteri Keuangan untuk menyediakan, mengalokasikan, dan melaksanakan pengendalian anggaran untuk pelaksanaan program tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menilai bahwa inpres ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum atau payung hukum untuk kartu sakti Jokowi. "Inpres itu perintah doang, bukannya payung hukum. Dikeluarkannya Inpres itu dasar hukumnya apa?" sebut Yusril.
Berdasarkan penelusuran MSNews, Inpres memang tidak masuk ke dalam kategori peraturan perundang-undangan. Bila mengacu ke Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan setidaknya ada tujuh peraturan yang masuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Yakni, (a) UUD 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dinilai Abaikan Kepala Daerah
Kartu sakti yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mengabaikan kepala daerah. Bahkan, program kartu sakti itu dianggap sebagai ketidakpercayaan presiden terhadap kepala daerah. Hal itu diutarakan Ketua Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Isran Noor, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (12/11).

"Itu (kartu sakti) makin mempertegas bahwa jokowi tidak mempercayai kepala daerah, seharusnya menjadi tugas pemerintah daerah, bukan presiden langsung dan itu juga pekerjaan RT bukan Presiden. Kasihan seorang presiden seperti bagi-bagi nasi bungkus yang dikerubuti banyak orang," ujarnya.

Salah seorang Bupati di Kalimantan Timur itu mengatakan bahwa daerahnya menolak kartu sakti yang diberikan Jokowi. Pasalnya, Kutai Timur sudah menerapkan beasiswa dan kurikulum wajib sekolah 12 tahun sejak 2006. Ia menilai, kartu sakti yang diterbitkan pemerintahan Jokowi bak pencitraan semata.

"Jadi apa yang dilakukan jokowi dengan kartu sakti itu sebagai pencitraan yang melebihi SBY," ujarnya. TIM MSNews
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Tiga ‘Kartu Sakti’ Ala Jokowi Dianggap Pencitraan Rating: 5 Reviewed By: Unknown