728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Selasa, 15 Juli 2014

Mari Kita Audit Lembaga Survey

Menyedihkan, itulah yang coba tergambar sesudah perhelatan akbar Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI 2014. Kali ini saya akan mencoba beropini terkait hasil hitung cepat dari sejumlah lembaga survey yang begitu sangat membingungkan masyarakat akibat menampilkan hasil tabulasi yang berbeda-beda. Saling klaim kemenangan di masing-masing kubu pasangan Capres Cawapres pun terjadi.  

Terdapat sedikitnya 8 dari 12 lembaga survei menyatakan pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang Pilpres. Sedangkan 4 lembaga survei lainnya menyatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang unggul.

Tindakan KPU
Sementara itu media TVOne dan Anteve (dari Grup Bakrie), RCTI, GlobalTV, MNCTV, DeliTV (dari MNC Grup) hanya menayangkan hasil survei dari lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta. Sedangkan MetroTV hanya menayangkan lembaga survei yang memenangkan Jokowi-Hatta. 

Untuk stasiun televisi seperti SCTV, Indosiar, TVRI, TransTV, Trans7, dan NetTV terbilang cukup berimbang dengan menayangkan hampir seluruh hasil quick count dari lembaga survei. Sementara stasiun televisi asing mayoritas mempublikasikan Jokowi-JK sebagai pemenang. 

Saya mencurigai Hasil quick count Pilpres 2014 yang berbeda itu sengaja dimanipulasi. Tentu saja KPU harus berani melakukan evaluasi dan mengaudit lembaga-lembaga survei tersebut. Jika ada  lembaga survei yang terbukti melakukan manipulasi data, KPU harus mencabut akreditasi lembaga survei tersebut dari peliputan Pemilu. Karena dapat mempengaruhi opini publik terhadap hasil Pilpres. Saya khawatir kondisi ini dapat memunculkan konflik di tengah masyarakat jika tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang transparansi dan metodologi survei yang dilakukan. Apalagi hasil survey itu secara gencar ditayangkan di sejumlah stasiun televisi.

Bukankah metode quick count pada awalnya ditujukan memberikan informasi yang lebih dini kepada masyarakat. Hasil hitung cepat yang secara metodologis sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan validitas dan akurasinya, demi mengontrol munculnya kecurangan dalam pelaksanaan pilpres. Namun tidak berarti masing-masing pasangan dengan jumawanya mengklaimnya lebih dulu dengan mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang pemilu presiden hanya berdasarkan hitung cepat dari lembaga survey.

Saya berharap KPU bertindak dan bersikap independen dan profesional untuk memastikan suara rakyat tidak dicurangi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. KPU harus berani bertindak setelah 22 Juli nanti dengan memblack list lembaga survei maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya yang terbukti melakukan manipulasi. 

Hukuman Publik
Selain itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga harus berperan aktif mengatasi permasalahan ini dengan memberi peringatan setegas mungkin terhadap stasiun-stasiun televisi yang menyiarkan pemberitaan tidak berimbang, berisi fitnah, atau berita yang berisi kebohongan. 

Tapi tidak mungkin untuk melakukan kedua hal tersebut di atas karena akan terkesan sangat otoriter bahkan bisa dianggap sebagai menghalangi kebebasan berpendapat dan menghalangi kebebasan pers. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya, tidak akan lahir dalam suasana politik yang masih otoriter. Demikian pula dengan undang-undang penyiaran, keterbukaan informasi publik dan lain sebagainya. Maka tesis McNair (2011) tentang kompleksitas hubungan politik, media dan demokrasi adalah keniscayaan yang patut diperhatikan secara lebih mendalam.

Saya pernah membaca buku Brian McNair tentang An Introduction to Political Communication (5th Edition, 2011). Di buku itu ditegaskan bahwa media tidak lagi sekadar saluran komunikasi untuk praktik-praktik politik yang dijalankan, lebih dari semuanya media telah menjadi bagian penting dalam proses politik yang terjadi. Media, dengan demikian juga memilih jalan politiknya sendiri untuk berpihak atau tidak berpihak pada isu-isu politik yang sedang berlangsung. 

Keberpihakan sejumlah media terhadap kedua pasangan capres-cawapres 2014 begitu sangat kentara, dan patut dimaklumi karena faktanya para pemilik media tersebut adalah orang-orang penting di belakang kontestasi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Fenomena ini menjelaskan tesis McNair bahwa saat ini media (sebagai teks dan konteks) adalah aktor politik itu sendiri.

Jadi media massa sudah saatnya terbuka, media massa secara bebas bisa memilih jalan hidupnya sebagai lembaga independen atau lembaga yang telah terafiliasi oleh kekuatan politik tertentu. Keberpihakan atau ketidakberpihakan ini sangat perlu, agar distorsi pemberitaan yang ada dapat dimaklumi oleh masyarakat. Sehingga masyarakat dapat menilai bahwa suatu media telah berpihak atau tidak berpihak. 

Demikian juga dengan lembaga survei, harus terbuka dan transparan tentang metodologi, jumlah sampling, margin error, sebaran demografis, sponsor, dan afiliasi politiknya kepada publik. 

Penjelasan tentang hal ini akan memberikan gambaran kepada publik dalam memahami hasil survei. Masyarakat lebih lanjut dapat menyurvei lembaga survey, bahkan jika perlu melakukan penghukuman kepada lembaga survei yang telah memanipulasi data untuk melakukan kebohongan publik.

Oleh : Deny Sinatra
Penulis adalah pemerhati politik 



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Mari Kita Audit Lembaga Survey Rating: 5 Reviewed By: Unknown