728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Sabtu, 19 Januari 2013

Banjir Parah, Perlukah Ibu Kota Pindah?

Bundaran HI
Dikepung Banjir
Jakarta - Ketika dua sahabat bertemu, mestinya menebarkan aroma suka cita. Namun kali ini,ketika dua sahabat bertemu, justru membawa derita. Itulah yang tejadi di ibukota negara Jakarta selama beberapa belakangan ini.

Ya, Jakarta dan banjir ibarat dua sahabat lama. Sejak kota ini dilahirkan dengan Jayakaryta, lalu berubah menjadi Batavia, dan berakhir dengan nama Jakarta, banjir sudah seringkali datang di kota Metropolitan itu. Sudah tak terhitung korban berjatuhan, harta benda yang ludes dan derita berkepanjangan, toh dua sahabat itu seakan tak bisa terpisahkan.
Anehnya, kota yang kini makin semrawut itu tetap didapuk menjadi ikon negara, ibu dari seluruh kota di Indonesia. Hingga pekan ini, banjir kembali datang menyambangi Jakarta, sehingga membuat ibukota negara itu lumpuh.

Tragisnya, istana yang menjadi simbol pemerintahan negara, ikut larut dalam 'pool party' dengan genangan air hingga sedengkul. Sampai-sampai kunjungan tamu negara presiden Argentina pada Kamis (17 Januari 2012) ke istana yang dihuni presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dibatalkan. Wajah negeri ini pun kembali tercoreng di mata internasional.
Selama ini segala daya upaya dikerahkan untuk mengatasi banjir Jakarta. Toh hasilnya nihil. Bahkan wacana untuk memindahkan ibukota negara sudah berkumandang sejak dulu, namun hingga kini tidak ada realisasinya.

Adalah presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang pernah melontarkan ide memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Tengah. Persisnya ke kota Palangkaraya, yang dibelah oleh sungai Kahayan.

Mimpi Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota negara itu dilontarkan pada tahun 1950-an. Saat itu, putra sang fajar tersebut sudah meramalkan bahwa Jakarta akan tumbuh tak terkendali.

Ada beberapa pertimbangan Soekarno memilih Palangkaraya sebagai ibukota negara. Pertama, Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.
Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya, seperti di negara-negara lain. Ia juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.

"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957. "Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," tambahnya.

Untuk mewujudkan ide tersebut, Soekarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik.

Tapi seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat. Puncaknya pasca 1965, Soekarno dilengserkan. Soeharto yang melesat ke puncak kekuasaan negeri ini, tak ingin melanjutkan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Pulau Jawa pun kembali jadi sentral semua segi kehidupan.

Kini Jakarta makin semrawut, sementara pembangunan di  Palangkaraya berjalan lambat. Hampir tak ada tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota RI yang megah. Hanya sebuah monumen berdiri menjadi pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.

Sementara Jakarta sebagai ibu kota negara, terlihat semakin tidak layak. Kota ini menyimpan segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Nah, menyusul banjir besar yang melanda Jakarta, pemerintah kini didesak untuk segera memindahkan Ibu Kota Negara ke tempat yang lebih aman. Andrinof Chaniago, Tim Visi Indonesia 2033, mengungkapkan, dengan kondisi banjir yang telah masuk ke dalam Istana Presiden, tidak ada alasan bagi pemerintah tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.

"Selain Malaysia yang telah memindahkan Ibukotanya ke Putra Negara, 19 negara lainnya telah terlebih dahulu memindahkan Ibukotannya. Termasuk Amerika dan Australia itupun telah memindahkan Ibu Kotannya," ujarnya, Kamis (17/1/2013).

Menurut Andrinof, setidaknya enam alasan pendorong untuk merealisasikan konsep relokasi ke Kalimantan itu, yaitu lebih efektif mewujudkan Indonesia yang sejahtera berkeadilan, dengan perekonomian yang tumbuh secara berkelanjutan.

Kedua, akan menumbuhkan epicentrum baru yang mendekati kawasan tertinggal dan pinggiran. Selain itu, dibandingkan daerah lain, Kalimantan satu-satunya pulau yang tidak pernah diguncang gempa bumi.

Ketiga, memudahkan penataan kembali Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. 

Keempat, mencoba menghentikan paradoks pembangunan yang telah dicoba diselesaikan dengan program parsial, seperti transmigrasi, pembangunan daerah tertinggal, pembangunan kawasan timur Indonesia yang terbukti gagal menciptakan pembangunan yang berkeadilan dan merata.
Kelima, melindungi lahan pertanian di Jawa karena tingkat kesuburannya yang paling tinggi di antara wilayah di Indonesia. Keenam, mencegah terjadinya guncangan sosial seperti 1998.
Di sisi lain, lanjut Andrinof, ancaman yang sulit dielakan Jakarta untuk terus dipertahankan sebagai ibukota pemerintahan, yaitu ancaman alam dan perubahan iklim, urbanisasi hingga persoalan kesenjangan social yang makin tinggi. Dalam hal ini, tuturnya, pemindahan ibukota ke daerah terdekat dari Jakarta tidak akan bisa menjadi solusi.

Menurut Andrinof, selama ini Jakarta telah gagal menjalankan peran dan tanggungjawab sebagai ibu kota pemerintahan. Indikasinya, ungkapnya, gagal dalam melakukan penataan ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup, hinggga kegagalan dalam pengendalian penduduk serta transportasi kota.

“Kalau Ibukota bisa dipindah ke Kalimantan, maka manfaatnya bukan saja bagi revitalisasi Jakarta, tapi Pulau Jawa secara keseluruhan, sehingga kembali berfungsi sebagai pulau yang strategis dan penting,” ujarnya.

Menyangkut anggaran pemindahan, Andrinof menilai, tidaklah terlalu besar. "Pemerintah cukup menyisahkan 1 persen dari APBN selama 10 tahun," tegasnya.

Andrinof menghitung, satu persen APBN sudah cukup besaran yaitu Rp 15 triliun. Dan jika dikumpulkan selama 10 tahun, cukup untuk membangun Ibukota baru.

Anggota Komisi V DPR, Yudi Widiana Adia, mengamini usulan pemindahan ibukota. Menurutnya, bencana banjir yang kian sering terjadi di Jakarta semakin menyadarkan semua pihak bahwa DKI Jakarta memang sudah tidak layak menjadi pusat pemerintahan.
"Ini dapat menyadarkan kita semua untuk secara serius membuat solusi yang tepat, yaitu segera memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke daerah lainnya yang lebih baik kondisinya," ujarnya.

Tetapi dia kurang sepakat jika ibukota dipindahkan ke luar pulau Jawa. Ia mengusulkan kota Majalengka, Jawa Barat, menjadi pusat pemerintahan RI yang baru dengan alasan jaraknya dari Jakarta saat ini hanya sekitar 150 Km. Di samping itu kota kabupaten tersebut masih memiliki banyak banyak lahan kosong dengan infrastruktur yang baik.

“Dari segi biaya, jika dibandingkan dengan rencana pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jawa, jauh lebih murah,” ujarnya. Apalagi, ujarnya, di sana juga sudah ada bandar udara Kertajati, sehingga bisa diperluas untuk menjadi bandara kelas internasional.

Toh tidak semua pihak sepakat memindahkan ibukota negara. Pemerhati isu-isu perkotaan Wicaksono Sarosa misalnya, menilai bahwa pemindahan ibu kota tak akan efektif mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa serta masalah-masalah urban di Jakarta, seperti kemacetan.

"Yang harus dilakukan adalah menumbuhkan pusat-pusat perkotaan di luar Jakarta dan Jawa tanpa harus memindahkan ibu kota," ujarnya. Ia mencontohkan China. "Dulu, Beijing dan Shanghai terlalu dominan di China, dan kota lain tertinggal. Tapi sekarang, kota-kota seperti Shenzhen dan Guangzhou bisa berkembang dengan baik," kata Wicaksono.

Jadi, kata Wicaksono, pemerintah harus konsisten dan serius membangun kota-kota besar yang memiliki daya saing internasional. Kota-kota tersebut, bisa saja, seperti Medan, Makassar, Manado, dan Surabaya. "Infrastruktur diperbaiki, bandara, pelabuhan dibuat baik. Kuncinya, pemerintah harus konsisten dan serius," ucapnya.

Wicaksono menyarankan, Pemerintah cukup mengembangkan lima hingga tujuh kota besar di Indonesia. Selain itu, Wicaksono juga meminta pemerintah memprioritaskan sistem angkutan massal serta penataan ruang yang sesuai dengan pola transportasi publik. Prioritas ini tak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lainnya di Indonesia.

Staf Ahli Presiden Bidang Ekonomi, Firmanzah, menilai bahwa pemindahan ibukota negara membutuhkan perencanaan yang sangat matang. Mantan Dekan Faklutas Ekonomi Universitas Indonesia itu lebih tertarik dengan konsep pemisahan antara pusat bisnis dan pemerintahan di Indonesia.

Menurut Firmanzah,, idealnya pusat pemerintahan dan bisnis harus dipisah seperti terjadi di beberapa negara maju. Namun untuk mewujudkan gagasan tersebut setidaknya perlu melibatkan pergantian beberapa presiden.

"Nggak mudah menjalankan ide tersebut. Sejumlah negara melakukan hal itu, namun pelaksanaannya tidak mudah, dan proses pemindahan dan mencari lokasi membutuhkan perencanaan yang matang," imbuhnya," ujarnya.

Ya, tidak mudah memang melakukan terobosan baru. Tetapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan solusi akan dijalankan? GATRA
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Banjir Parah, Perlukah Ibu Kota Pindah? Rating: 5 Reviewed By: Unknown