728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Selasa, 29 Januari 2013

Media VS Kepentingan (Pemilik) Publik


Pekan-pekan terakhir ini publik luas Indonesia disuguhi sebuah sajian bertita mengenai perseteruan langsung maupun tidak langsung dari tiga orang kaya Indonesia yang memiliki media atau stasiun televisi. Ketiganya adalah Surya Paloh atau SP (pemilik Metro TV), Hary Tanoesudibyo atau HT (pemilik MNC Grup antara lain: MNC TV, RCTI, Global TV), dan Aburizal Bakri atau Ical alias ARB (pemilik ANTV dan TVOne).
Perseteruan langsung terjadi antara HT dengan SP terkait kisruh di internal Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Perbedaan pandangan dalam menangani misi dan visi partai menjadi pemicu utama kedua konglomerat media televisi ini pecah kongsi. Secara terbuka HT mengumumkan dirinya untuk hengkang dari Partai Nasdem dan memaparkan secara terang benderang alas an-alasan mengapa secara politik dirinya berseteru dengan SP. 

Hampir seluruh media televisi, kecuali Metro TV, menyiarkan secara langsung ihwal hengkangnya HT dari Partai Nasdem. Tak tanggung-tanggung, siaran live ditempatkan dalam program "luar biasa" yakni breaking news. 

Dalam dunia televisi, target menjadikan breaking news adalah menjadikan program itu sebagai program unggulan, baik dari aspek kuantitatif (rating dan share) maupun kualitatif (persepsi pemirsa) sehingga membentuk station image yang positif. Breaking news adalah siaran berita yang bersifat mendadak dan dianggap memiliki nilai berita yang tinggi. Kehadiran breaking news dalam siaran televisi dapat menyela atau menghentikan program regular yang telah terjadwal.

Breaking news itu dihadirkan oleh para pengelola redaksi televisi karena dianggap memiliki nilai berita yang tinggi, mengandung aspek kontroversi yang tinggi pula, dan berada pada momentum yang menjadi perhatian dan ditunggu publik. Breaking news biasanya memiliki implikasi besar terhadap kehidupan banyak orang.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa pentingnya pengundurkan diri HT dari Partai Nasdem terhadap publik dan berimplikasi terhadap kehidupan banyak orang? Bagi HT maupun ABR, implikasi terhadap kehidupan banyak orang barangkali tidak terlalu penting. 

Publik menduga siaran breaking news di tvOne dan semua stasiun televisi di bawah MNC Grup bahwa target terpenting bagi mereka HT dan ARB adalah bagaimana secara langsung maupun tidak langsung menurunkan citra SP dan partainya di mata publik terutama menjelang pemilu tahun 2014 mendatang.

Kepentingan publik dan pemilik modal :
Kritik terhadap program pemberitaan media, khususnya televisi, sejak lama semakin kerap muncul ke ruang publik, baik di forum-forum seminar, forum diskusi terbatas, media khususnya televisi acap kali dituding tidak fair dan selalu mengedepankan kepentingan pemiliknya dalam pemberitaan-pemberitaan yang disajikannya. Pada akhir Februari 2012 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendapat pengaduan dari pengurus Partai Demokrat (PD) karena partai itu merasa dipojokkan oleh dua stasiun televisi yakni MetroTV dan tvOne. KPI Pusat kemudian melakukan mediasi antara kedua pihak (yani Metro TV dan tvOne) dengan pihak penggugat yakni PD. Selang sepekan kemudian, giliran pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang mengumumkan pemboikotan terhadap dua stasiun televisi milik Grup Bakrie yakni ANTV dan tvOne. Dua stasiun yang terakhir disebutkan tadi dianggap selalu memojokkan dan memelintir berita tentang PSSI pimpinan Prof. Dr. Djohar Arifin Husein. ANTV dan tvOne dinilai PSSI cenderung menjadi corong bagi bekas pengurus PSSI pada era Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Nirwan Bakrie adalah adik kandung pengusaha Aburizal Bakrie, yang juga pemilik tvOne dan ANTV.

Tindakan Partai Demokrat maupun PSSI justru dinilai sebagai langka kontra produktif dan tidak strategis dalam mewujudkan profesionalisme pers dalam pekerjaannya. Karena terkesan memindahkan "borok" yang ada pada kedua organisasi itu kepada aktifitas dan pemberitaan media. Atas nama kemerdekaan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar, tindakan Partai Demokrat dan PSSI ini pun praktis dinilai menjadi tidak bermakna di mata institusi media dan para jurnalisnya.

Namun terlepas dari paniknya dan kemudian melancarkan aksi protes dari PD maupun PSSI, para jurnalis dan pengelola stasiun televisi melakukan sedikit intropeksi dan refleksi sejenak tentang bagaimana kerja jurnalistik mereka selama itu sebenarnya sudah benar atau tidak. Seorang peneliti komunikasi Brian McNair (1995) menyatakan bahwa media bukanlah ranah yang netral, dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang seimbang. Menurut McNair, media justru menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. (McNair dalam Mustary, 2012)

Media massa (terutama televisi) sampai saat ini semakin tidak bisa dilepaskan dan melepaskan diri dari konteks dan kehidupan politik dan ekonomi sebuah negara, termasuk Indonesia yang sedang dalam tahapan transisi menuju demokrasi yang sesungguhnya. Sebagai pilar keempat demokrasi, media televisi berperan penting dalam keberlangsungan praktik demokrasi di negeri ini. Sebagai konsekuensi dari kenyataan ini, kebebasan pers menjadi sebuah keniscayaan. 

Dalam wujud nyata, jurnalistik televisi bahkan telah mengambil peran yang sangat penting di Indonesia. Antara lain ditandai dengan hadirnya program berita pada semua stasiun televisi. Hadirnya dua stasiun televisi berita yakni Metro TV dan tvOne yang beroperasi di jalur free to air semakin mengukuhkan peran televisi sebagai medium informasi dan demokrasi yang vital bagi masyarakat karena kedua stasiun televisi itu dapat dikonsumsi publik secara gratis dengan menggunakan kanal frekuensi milik Tuhan yang diserahkan kepada publik dan dinikmati publik luas. 

Pada titik ini, apa yang terjadi pada sejumlah contoh keberatan publik terhadai pengelola stasiun televisi seyogyanya dipandang sebuah peringatan serius terhadap cara dan pemahaman pada jurnalis dan pengelola televisi dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Tidak seperti masa represif Orde Baru, para jurnalis dan pengelola televisi tidak lagi selalu berhadapan dengan dominasi negara yang selalu menghegemoni dan mengkontrol semua aktifitas pers Indonesia. 

Sebaliknya, jurnalis dan pengelola televisi pada masa kini adalah mereka yang bekerja di dalam kebebasan demi nilai-nilai luhur kepentingan publik, dan berdiri di antara beragam kepentingan institusi media di mana mereka bekerja. 

Dengan kata lain, media televisi pada masa sekarang berpeluang dan berpotensi melakukan pelanggaran prinsip-prinsip kebebasan pers yang muaranya berasal dari lingkungan kerja mereka sendiri, khususnya dari kalangan pemilik modal. Sinyal peringatan ini menjadi penting untuk dikemukakan kembali, terutama bagi para jurnalis dan pengelola stasiun televisi, mengingat pada masa-masa sekarang ini terjadi pertautan antara dunia bisnis dan politik dalam industri media televisi yang semakin terang-terangan dan tidak dapat dihindarkan, seperti nama-nama tokoh yang sudah penulis sebutkan di awal tulisan di atas. Sejumlah grup usaha besar dalam industri televisi kini berkiprah dalam dunia politik, yang dengan atau tanpa melibatkan media yang dimilikinya akan memberikan warna pada produk jurnalistik televisi yang mereka hasilkan.

Sebagai pemilik stasiun televisi, tentu menjadi hak bagi SP, HT, maupun ARB alias Ical terjun ke kancah politik. Memang sah-sah saja jika praktik bisnis dan politik disusupkan mereka dalam kegiatan jurnalistik televisi di dalam stasiun televisi milik mereka masing-masing. Namun harus dipahami dan dijunjung tinggi juga bahwa seharusnya dibuka lebar-lebar agar aktifitas jurnalistik mereka sejalan dengan prinsip luhur jurnalisme yang berpihak pertama dan utama kepada kepentingan publik, sekaligus bermanfaat bagi kepentingan publik luas. Dan bukan semata-mata mengedepankan ambisi kekuasaan dan politik serta bisnis dari para pemilik stasiun televisi. Jika ini sudah terjadi, maka suka atau tidak suka kebebasan pers (press freedom) yang selama ini menjadi jargon yang sangat penting dalam dunia jurnalistik, menjadi kabur maknanya setelah dikontrol dan didominasi oleh korporasi dari pemilik media televisi.

Tiga persoalan mendasar yang terjadi dalam praktik-praktik jurnalisme pada kasus ini adalah diabaikannya prinsip "netralitas" yang diwajibkan oleh Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Pers dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, sering ditabraknya prinsip "independensi" dan "keberimbangan" yang ditegaskan dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. 

Harus juga diakui, banyak televisi yang melakukan edukasi, tetapi porsinya masih terlalu sedikit. Namun ada akhirnya, harus diakui pula, bawa media penyiaran televisi tidak terlepas dari kepentingan politik dan kepentingan sesaat pemilik. 

Tentang hal ini, saya mendapat informasi dari wartawan senior Kompas Budiarto Sambasy. Ketika diwawancarai di stasiun televisi Berita Satu, dia mengemukakan, bahwa di Amerika Serikat media terutama televisi kerap sekali dikritik publik karena dianggap terlalu berpihak kepada Barrack Obama, terutama pada masa dua periode terakhir pemerintahan Obama. 

Tapi, menurut Sambasy, media televisi di AS itu punya alas an-alasan pembenaran yang betul-betul sahih mengapa mereka memihak Obama. Para pengelola televisi di Amerika Serikat beralasan bahwa inilah kesempatan bagi masyarakat untuk memiliki presiden yang mengkoreksi kepemimpinan Amerika Serikat yang sedang mengalami krisis moneter. "Sedangkan di Indonesia dalih-dalil seperti terhadap independensi media terhadap penguasa dan pemiliknya tidak ada sama sekali," kata Sambasy.

Saya menyarankan, agar pemilik media televisi harus memberikan kesempatan sebesar-besaran kepada redaksi dalam menjalankan praktik jurnalisme yang benar-benar professional tanpa ada tekanan dari pemilik media. Meskipun saya menyadari jajaran redaksi (news room) pun tidak mungkin seratus persen steril dari pengaruh dari kepentingan pemilik media. Karena kepentingan pemilik itu harus dibawa juga. Tetapi jangan sampai kepentingan media itu merugikan kepentingan publik. Karena sesungguhnya media itu ada karena publik. Dan air time itu adalah milik Tuhan Yang Maha Mencipta yang diserahkan kepada publik, dan publik lah yang berhak menikmatinya, bukan pemilik media. 

Akhirnya, publik pun sangat diharapkan selalu dan terus ikut mengawasi praktik-praktik jurnalisme televisi yang dijalankan para pengelolanya. Ini harus dilakukan publik dan lembaga-lembaga publik lainnya, agar menjelang momentum pemilihan umum tahun 2014 stasiun televisi tidak saling serang melalui black campaign, menyebar fitnah, kebohongan, dan negative campaign terhadap lawan-lawan politik mereka para pemilik stasiun televisi. ***

Oleh : Puji Santoso. Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Fisip USU dan UMSU
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Media VS Kepentingan (Pemilik) Publik Rating: 5 Reviewed By: Unknown