728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Minggu, 23 Desember 2012

Korupsi di Negeri Para Begundal



OLEH : DENY SINATRA. Setelah berputar-putar dan menabrak banyak sasaran, akhirnya ‘peluru’ yang ditembakkan M Nazaruddin dari ‘pistol’ proyek Hambalang dan ‘Wisma Atlet’, akhirnya menembus jantung orang kepercayaan presiden, Andi Alfian Mallarangeng, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga.

Pekan lalu, KPK resmi menetapkan mantan Juru Bicara Presiden ini sebagai tersangka baru Hambalang. Andi bersama adiknya, Andi Zulkarnain ‘Choel’ Mallarangeng dan Muhammad Arief Taufiqurrahman dari PT Adhi Karya, juga resmi dicekal KPK untuk plesiran ke luar negeri.

Yang membanggakan, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Andi menyatakan mundur dari jabatan Menpora dan Pembina Partai Demokrat. Sikap Andi (seperti sebelumnya juga dilakukan Suharso Monoarfa, mantan Meteri Perumahan Rakyat), layak diapresiasi, di tengah banyaknya pejabat negeri ini yang ‘tuli hati’ dan penganut budaya ‘pantang mundur’.


Publik sangat berharap, pengusutan kasus Hambalang dan Wisma Atlet (termasuk kasus mega korupsi Century dan BLBI yang ditengarai melibatkan banyak orang penting negeri ini), jangan cuma berhenti pasca penetapan Menpora Andi Mallarangeng sebagai tersangka.


KPK harus bisa mengungkap terduga tersangka kuat lainnya, lembaga atau korporasi yang diuntungkan dari ‘proyek Hambalang’ ini. Sebagai lembaga superbodi dan penegak hukum paling disegani, KPK harus menelusuri kemana saja aliran dana hambalang mengalir, siapa saja yang menikmati uang haram milik rakyat itu, dan untuk kepentingan apa uang rakyat yang luar biasa besar itu di korup secara berjamaah.


Sebab, praktik haram korupsi bak virus ganas yang terus menebar di seluruh sel dan aliran darah negeri ini. Modus, besaran, dan intensitasnya kian hari kian parah; kendati genderang perang atas praktik haram ini sudah ditabuh pemerintah sejak awal reformasi, Mei 1998 lalu.


Namun, praktik korupsi bukan mereda, tetapi justru kian berlari kencang, terjadi hampir di semua level dan lini pemerintahan: di birokrasi, di lembaga penegak hukum, di legislatif (pusat maupun daerah), di partai politik, hingga ke rekening anggaran negara untuk membantu orang miskin.


Di negeri ini, modus korupsi telah di design para politisi dan birokrat, di pusat maupun daerah, saat nama/jenis kegiatan dan besaran anggarannya masih dalam tahap pencanaaan. Mengerikan!


Modus, intensitas, besaran, dan area korupsi pun tak lagi sebatas urusan duniawi. Urusan akhirat, seperti biaya ibadah haji dan dana hibah (bantuan) untuk masjid pun, tak luput dari jamahaan praktik rasuah ini.


Berbagai data dan fakta, baik yang berasal dari survei global maupun survei nasional menunjukkan dengan jelas, kemunduran sosial, membengkaknya angka kemiskinan dan pengangguran, hingga kerusakan moral anak bangsa yang berlangsung eksesif selama ini, diyakini akibat maraknya praktik korupsi.


Sebagai kejahatan extraordinary, di negeri para koruptor ini, korupsi kian sulit diendus, diprediksi, direduksi, apalagi diberantas. Data Indeks Persepsi Korupsi (IPM) 2011 yang dilansir Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, IPK Indonesia masih berada di poin 2,8, jauh tertinggal di bawah IPK Singapura (3,9), Malaysia (4,0), dan Korea Selatan (5,4).


Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang dirilis Program Pembangunan PBB (UNDP) tahun 2011 lalu, juga menunjukkan, indeks pembangunan manusia(IPM) Indonesia masih berada di urutan ke-124 dari 187 negara yang di survei, jauh di bawah Singapura (posisi ke-26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112)


Data kemiskinan HDR juga memperlihatkan, masih terdapat 48,35 juta orang miskin multidimensi di Indonesia, yang diukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup.


Realitas gap ekonomi yang kian ekstrem, membengkaknya kantong-kantong kemiskinan (di kota dan terutama di desa), penggerogotan atas tanah-tanah adat, dan perusakan lingkungan hidup dalam sejumlah modus yang merugikan rakyat kecil, adalah fakta serius yang bisa jadi diakibatkan oleh mewabahnya praktik pungli dan korupsi.


Kinerja Logistik Paling Buruk

Indonesia juga tercatat sebagai negara berbiaya tinggi dan memiliki kinerja logistik paling buruk. Hasil Survei Bank Dunia (Logistics Performance Index, 2010) mencatat, Indonesia memiliki kinerja logistik yang buruk: peringkat ke-75 dari 155 negara yang di survei.

Menurut data World Social Forum (2011), beberapa faktor yang membuat daya saing ekonomi Indonesia terus terpuruk, antara lain adalah: inefiesiensi birokrasi, korupsi, etika kerja yang buruk, instabilitas kebijakan serta pencurian dan kejahatan.


Ancaman hukuman penjara (termasuk hukuman mati atau usulan Profesor Mahfud MD untuk membuat kebun koruptor yang letaknya berdampingan dengan kebun binatang) tak membuat praktik korupsi mengendur. Kendati mantan menteri, menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR/DPRD, petinggi Polri, jaksa, hingga para hakim, sudah banyak yang dijebloskan ke penjara, praktik korupsi justru berlangsung kian masif dengan modus yang makin canggih dan apik.


Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa agenda pemberantasan korupsi masih jauh dari selesai, bahkan sebaliknya kian masif dan intensif, menjangkiti hampir semua sektor publik. Bahkan, sektor penegak hukum yang semestinya bebas dari korupsi seakan-akan menjadi ‘sapu kotor’. Kini, banyak aparat penegak hukum yang dipenjara akibat korupsi.


George Junus Aditjondro (2001) meyakini adanya tiga lapis jejaring korupsi di negeri yang menjadi sarang hidup para koruptor ini. Pertama, korupsi yang berkaitan antara warga dan aparat negara, seperti suap dan pemerasan.


Kedua, korupsi di pusat pemerintahan (inner circle), seperti nepotisme dan kroniisme. Dan Ketiga, korupsi berbentuk jejaring, yang melibatkan birokrat, politikus, aparat hukum dan keamanan, BUMN, bisnis swasta, dan seterusnya.


Korupsi jenis ketiga inilah yang paling berbahaya, sulit diendus, dan nyaris mustahil untuk dibuktikan karena faktor konspirasi canggih antarelemen dalam proses penggerogotan aset negara dan harta-harta sosial secara berjamaah. Kategori korupsi white collar crime ini memiliki potensi besar melahirkan ketimpangan struktural dan wajah kemiskinan massal.


Negeri ini sungguh menghadapi teror dahsyat korupsi. Mengutip Stanislav Andreski (1996), birokrasi di banyak negeri telah terjangkit virus ‘kleptomani’; sejenis sindrom kejiwaan di mana individu memiliki tabiat suka mencuri hak orang lain tanpa merasa bersalah.


Di Indonesia, korupsi politik (state capture), korupsi birokrasi (cleptocracy), korupsi kecil-kecilan (petty corruption) dan pemerintahan yang buruk (bad governance) telah berjalin-kelindan sehingga menyulitkan efektivitas pemberantasan korupsi.


Korupsi merupakan produk dari ketidakseimbangan relasi antara negara, masyarakat, dan bisnis. Pemberantasan korupsi sejatinya berjalan seiring dengan penguatan peran institusi sosial dan perluasan partisipasi publik. Akibat cara pandang donor yang bias civil society, gerakan sosial antikorupsi di Indonesia hingga kini tak pernah punya fondasi yang kuat.


Menurut pakar sosiologi korupsi, Syed Hussein Alatas, di negara berkembang, regulasi dan lembaga antikorupsi dibuat bukan untuk membasmi praktik korupsi, tetapi justru menjadi ‘jaring pengaman’ bagi para koruptor.


Yang pasti, publik kian jenuh dengan pola penanganan korupsi yang terus berputar tanpa ujung. Apalagi, indikasi upaya memangkas peran KPK yang diinisiasi para koruptor alias ‘begundal anggaran’ terus beroperasi.


Padahal, di awal terpilihnya SBY sebagai presiden, ia pernah dengan lantang menyatakan: "siap berdiri di depan untuk memberantas korupsi". Komitmen itu, dibuktikan SBY dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.


Tapi komitmen presiden tak sungguh konkret dan konsisten. Seperti kata Lord Acton, "kekuasaan cenderung korup" (power tends to corrupt). Artinya, tanpa pengawasan ketat lembaga penegak hukum, dan tanpa melibatkan partisipasi publik, kita sulit berharap agenda pemberatasan korupsi bisa bekerja secara efektif, makasimal, dan komprehensif.


Kita berharap, ke dapan, visi dan strategi pemberantasan korupsi yang dasar hukumnya telah tertuang tegas dalam UU No 30/2002 tentang KPK dan UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor bisa diletakkan dalam konteks yang lebih luas, dengan memanfaatan seluruh instrumen antikorupsi yang ada. Tujuannya, untuk mempercepat pemberantasan praktik korupsi yang modusnya kian canggih, apik, sistemik, licik, dan lihai.


Dengan dua visi besar itu, sebagai bangsa, kita tentu punya optimisme, negeri ini bisa sungguh-sungguh menjadi tempat yang menjerakan bagi para koruptor; tak lagi menjadi sarang hidup para koruptor dan begundal anggaran. Semoga. 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Korupsi di Negeri Para Begundal Rating: 5 Reviewed By: Unknown