728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Rabu, 06 Februari 2013

Masih Adakah Partai Anti Korupsi di Bumi Indonesia


Satu lagi kasus korupsi yang cukup menghentakkan rutinitas  Publik kembali mencuat ke permukaan. Kasus ini menjadi bahan perbincangan banyak kalangan karena salah satu tersangkanya adalah pimpinan salah satu parpol yang selama ini dikenal dengan slogan "partai bersih". Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kapasitasnya sebagai presiden partai, tentu segala tindak tanduk yang bersangkutan akan sangat menyedot simpati dan perhatian publik.
Oleh sebab itu, maka menjadi wajar bila kemudian banyak kalangan yang memberikan respons atas kemunculan kasus ini. Guncangan yang cukup dahsyat juga diyakini akan melanda PKS pasca penetapan presidennya sebagai tersangka, apalagi kasus ini adalah merupakan kasus pertama yang ditangani KPK dengan tersangkanya adalah pucuk pimpinan parpol. Kasus korupsi yang menimpa petinggi PKS ini kian menunjukkan bahwa parpol sangat sarat dengan berbagai tindakan korupsi. Dalam perjalanan pemberantasan korupsi selama ini, KPK sudah cukup banyak menyeret para pelaku korupsi dari kalangan parpol.

Mencermati fakta yang ada selama ini, maka perang terhadap korupsi nampaknya masih harus terus digelorakan di negeri ini. Publik tentu masih ingat bagaimana hasil survei yang dilakukan KPK untuk tahun 2011, tercatat bahwa sekitar tiga kementerian, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Koperasi dan UKM "berhasil"menyandang predikat sebagai lembaga terkorup. Dari ketiga kementerian dimaksud, semuanya berada dalam kendali menteri yang nota benenya adalah merupakan pengurus partai. Oleh karena itu maka menjadi wajar bila kemudian muncul kecurigaan akan keterlibatan parpol dalam masalah ini.

Bagaimanapun, besarnya dana yang dibutuhkan oleh parpol untuk tetap bisa eksis dalam persaingan politik, belum lagi dengan persoalan manajemen keuangan parpol yang tiada pernah berubah menuju penataan yang lebih transparan tentu akan menjadi persoalan yang rentan melahirkan korupsi. Parpol tidak jarang justru menggali pemasukan dari institusi pemerintahan melalui berbagai praktik terselubung. Disinilah menjadi kelihatan bagaimana sesungguhnya parpol memainkan hasrat politiknya dengan mengandalkan uang rakyat guna menjaga eksistensi dan hasrat politiknya.

Mestinya, parpol menjadi salah satu elemen yang mampu membawa dan membangkitkan bangsa menuju perubahan yang lebih baik. Parpol juga diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. namun harapan itu akan dapat terkabul manakala parpol benar-benar berjalan secara efektif dalam rangka memperjuangkan aspirasi rakyat hingga berbuah implementasi.

Namun apa yang terjadi saat ini justru berbanding terbalik dengan harapan publik. Parpol justru berubah menjadi predator penghisap dana rakyat. Lihat saja misalnya laporan yang dibeberkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan bahwa dari tahun 2007-2010 dana bantuan sosial sebesar Rp 300 triliun justru rawan disalahgunakan parpol. Kondisi ini cukup membuktikan bahwa parpol saat ini masih saja terlena dengan berbagai praktik yang justru kian jauh meninggalkan dan tanggung jawab sentralnya.

Tidak Membuahkan Perubahan Sikap


Sementara itu di sisi lain, bahwa hingga detik ini, peran dan tanggung jawab parpol melalui para wakil rakyat yang telah dititipkan di parlemen tidak membuahkan perubahan sikap yang menjanjikan. Lihat saja misalnya persoalan legislasi di DPR pada tahun 2010 lalu masih menjadi problem tersendiri yang hingga saat ini masih menyisakan sejumlah bercak noda yang belum bisa diurai secara perlahan. Dengan target legislasi sekitar 70 RUU yang hendak dituntaskan pada tahun 2010 ini, namun hingga berakhirnya tahun berjalan, mayoritas tugas legislasi dimaksud masih mengendap dan bahkan belum mendapat respon sama sekali.

Begitu juga dengan nasib penuntasan kasus Bank Century yang saat ini mulai tenggelam ditelan kencangnya arus badai perputaran kepentingan di parlemen. Harapan publik akan terbongkarnya kasus yang telah menelan uang Negara hingga triliunan rupiah itu justru kandas ditengah jalan. Bahkan kasusnya kini tidak lagi berdengung. Beberapa anggota dewan yang awalnya berkoar meneriakkan penuntasan kasus ini juga tidak lagi terdengar teriakan kebenaran yang pernah digulirkan. 

Kompleksitas persoalan ini seolah tidak mampu untuk memotivasi dan memacu para legislator untuk berbenah dalam mengubah citra dimata rakyat. Bahkan untuk menentukan prioritas kerja, DPR nampaknya mengalami kelinglungan. Seolah mereka bekerja tanpa agenda dan perencanaan, atau punya perencanaan namun justru diabaikan. Hampir tidak ada satu sisi kinerja dewan yang dapat digiring menuju pintu keberhasilan.

Memang persoalan di Senayan lebih didominasi dengan sanksi moral ketimbang sanksi yuridis. Celah ini menjadi pintu masuk bagi anggota dewan dalam mengebiri dan mengabaikan setiap aturan yang penuh dengan kebolongan sanksi. Maka tidak mengherankan bahwa banyak kalangan yang mengasumsikan keberadaan DPR sebagai orang-orang yang kebal terhadap hukum, sebab terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan yang kemudian tidak bisa ditindaklanjuti dengan penerapan sanksi secara tegas.

Namun patut dicatat bahwa ketika mereka hendak menduduki kursi wakil rakyat yang terhormat itu, didepan para petinggi Negara dan disaksikan oleh ribuan dan bahkan jutaan rakyat negeri ini, sumpah jabatan telah menjadi alat pengikat untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Mereka akan menjadi garda terdepan dalam membela hak-hak rakyat. Komitmen akan memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok dan bahkan perahu politiknya sudah bergema ketika itu.

Tapi kenyataan justru berkata lain. Apa yang diucapkan oleh sejumlah elit parpol tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang dilakoni dalam kesehariannya. 

Banyaknya kader parpol yang terjerat dalam berbagai kasus korupsi pada akhirnya akan berujung pada satu pertanyaan pokok yang layak didengungkan sebagai bahan refleksi, masih adakah parpol tanpa perbuatan korupsi?. 

Barangkali tidak berlebihan bila harus mengatakan bahwa hampir semua parpol sudah terinfeksi dengan virus yang bernama korupsi. Lalu bagaimana mungkin publik akan percaya terhadap kinerja dan peran parpol dalam membersihkan wajah negeri ini dari kotoran-kotoran yang bernama koruptor?. Hal ini akan menjadi pertanyaan lanjutan yang patut direnungkan oleh para petinggi dan elit parpol demi melanjutkan kiprah politiknya di masa yang akan datang. ***
Oleh: Janpatar Simamora, SH, MH
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Masih Adakah Partai Anti Korupsi di Bumi Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Unknown