728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Selasa, 19 Februari 2013

'Kendaraan' Sprindik dan Politik Adu Domba



Belakangan ini masyarakat kembali disuguhi dua kasus bocornya rahasia negara. Pertama, bocornya pajak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga. Kedua, bocornya draf surat perintah penyidikan (sprindik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum berstatus tersangka. Bocornya draf sprindik Anas menebarkan bara ke mana-mana. Tuduhan tidak hanya ke internal KPK sebagai pembocor dokumen yang mestinya amat rahasia itu, tetapi juga ke lingkaran Istana Presiden.
Tudingan bahwa Istana Presiden sebagai pembocor draf sprindik Anas merujuk ke sengkarut yang sedang membelit Partai Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat telah mengambil alih kendali partai itu dan meminta Anas fokus pada masalah hukum yang sedang ditangani KPK. Surat perintah penyidikan (sprindik) dipersoalkan ketika muncul bocorannya menyangkut status Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus gratifikasi. KPK belum menetapkan status hukum Anas, namun beredar "sprindik" yang belum dipastikan oleh KPK asli atau palsu atau asli tapi palsu (aspal). 

Heboh "sprindik" ini tak perlu terjadi bila ada klarifikasi yang cepat dan tepat sebagai bentuk keterbukaan, serta adanya kekompakan di lembaga yang bersangkutan, yakni KPK. Nuansa politis pada kasus korupsi Wisma Atlet dan proyek Hambalang sangat kental. Ada banyak elite partai yang terlibat terutama partai berkuasa. Wajar bila KPK memberikan perhatian ekstra berkaitan dengan kemungkinan intervensi politis dari pihak yang terkait maupun pihak luar yang mengambil keuntungan dari kasus ini. Langkah ini sekaligus untuk menjaga independensi badan antirasuah ini. 

Beberapa Catatan

Masyarakat sangat mendukung keberadaan KPK. Karena itu, catatan sehubungan dengan heboh sprindik ini pertama adalah keterbukaan yakni memberikan informasi yang jelas dan tuntas. Satu KPK, satu suara, meski orang yang bicara berbeda-beda. Omongan Ketua KPK Abraham Samad dan jurubicara Johan Budi harus sama, demikian juga dengan pimpinan KPK lainnya. Persoalan status Anas yang kemudian diikuti munculnya foto "spindik" di media sosial dan media massa berawal ketika Abraham Samad menyebut ada dua pimpinan KPK yang sudah menandatangani surat status tersangka Anas.

Berikutnya KPK menyatakan bahwa semua pimpinan sudah sepakat. Belakangan Abraham membantah adanya sprindik. KPK harus memastikan ada tidaknya dokumen tersebut. Pernyataan bahwa KPK akan memidanakan pihak-pihak di internal lembaga itu yang terbukti membocorkan dokumen "sprindik" memberikan tafsiran bahwa memang ada yang bocor. Bahkan disebutkan pelaku pembocoran dokumen sprindik diduga punya posisi di KPK. Istilah kebocoran artinya ada fakta sesuatu keluar tidak dengan semestinya.

Dalam hal ini, KPK sewajarnya memberikan klarifikasi, apa yang bocor selain mencari tahu siapa pelaku pembocor. Definisi mengenai sprindik, dijelaskan oleh Johan Budi, bahwa surat disebut sprindik bila sudah ditandatangani pimpinan KPK. Artinya, bila belum ditandatangani dan belum ada nomor suratnya, belum bisa disebut sprindik. Bila tidak ada yang bocor dari KPK, artinya "sprindik" yang beredar adalah buatan oknum yang ingin mendiskreditkan KPK maupun Anas, maka aparat hukum harus turun tangan mencari pelaku penyebar informasi bohong tersebut. Benar bahwa KPK harus memastikan bahwa yang beredar tersebut perlu diteliti keabsahannya. 

Apakah sama dengan yang sedang dibuat KPK. Kedua, pimpinan KPK harus kompak. Di tengah upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan hukuman seberat-beratnya bagi koruptor, ketidakkompakan pimpinan KPK sungguh sangat mengecewakan. Masyarakat memahami, seperti yang diungkapkan pimpinan KPK, bahwa selama ini badan antirasuah itu kekurangan penyidik. Namun, ketika penyidik yang berjumlah sedikit itu sudah bekerja keras, hasilnya tidak direspons dengan pendapat kompak dari pimpinan.

Jangan sampai terjadi, seorang terperiksa layak menjadi tersangka berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan petugas, dipatahkan oleh segelintir pimpinan yang memutus berdasarkan azas kolektif kolegial atau keputusan bersama. Berbeda pendapat antarpimpinan bukan kesalahan. Di peradilan tingkat dikenal dissenting opinion. Beda pendapat ini biasanya karena adanya sejumlah alasan seperti interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda, atau interpretasi yang berbeda dari fakta-fakta.

Kepentingan Politik

Namun, sungguh tidak elok bila perbedaan yang mengemuka di antara para pimpinan KPK adalah karena alasan kepentingan politis. Karena itu, bila benar dokumen "sprindik" yang belum ditandatangani itu asli serta Anas Urbaningrum memang tersangka, maka anasir di KPK yang tidak kompak karena alasan politis tadi sebaiknya mengundurkan diri. Ketiga, sebagai badan independen maka semua keputusan KPK dan pengumuman hasil penyelidikan dan penyidikan jangan terpolusi oleh momentum politik parpol. KPK juga tak bisa didikte. 

Karena itu, desakan apa pun yang tidak sesuai dengan koridor hukum yang dijalankan KPK, tak perlu dihiraukan, termasuk desakan yang mengatasnamakan rakyat, melalui pemberitaan media massa, maupun dari parpol atau eksekutif. KPK harus bertindak secara independent dan professional serta jauh dari intervensi pihak manapun, termasuk penguasa. Jangan kotori kinerja KPK dengan kepentingan politik segelintir orang.

Kita mendukung langkah KPK membentuk tim investigasi untuk mengusut bocornya draf sprindik Anas. Namun, kita ingatkan bahwa untuk menjaga objektivitas, kepercayaan publik, serta kualitas hasil investigasi, penyelidikan draf sprindik yang bocor itu tidak hanya dilakukan tim internal KPK. Tim investigasi itu perlu diperluas dengan melibatkan polisi. Bahkan alangkah lebih bijak bila KPK menyertakan tokoh-tokoh independen seperti seperti dari kalangan akademisi. Hasilnya pasti jauh dari berbagai interes dan prasangka.

Siapa pun yang terlibat membocorkan draf sprindik Anas, baik komisioner KPK, penyidik, maupun karyawan biasa, harus dihukum seberat-beratnya. Selain membuka rahasia negara, sang pembocor juga mengadu domba para elite dan memperkeruh suasana. Sekalipun bocornya sprindik mengandung unsur kelalaian di KPK, namun nampaknya nuansa politik adu dombanya jauh lebih besar atas persoalan ini. Buktinya, begitu sprindik itu menyebar kemana-mana, sontak kegaduhan politik kembali mengemuka di tanah air.***
Oleh: Drs. Kasman SAN, Penulis, bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: 'Kendaraan' Sprindik dan Politik Adu Domba Rating: 5 Reviewed By: Unknown