728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Jumat, 15 Maret 2013

Kampung Tematik di Surabaya

Surabaya. Pernah mendengar tentang Kampung Lontong, Kampung Tempe, Kampung Daur Ulang, atau Kampung Batik di Surabaya?

Kampung-kampung tematik ini tentu saja memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang selama ini menganggap Surabaya adalah kesatuan kota. Bukan kumpulan kampung-kampung semacam itu.
Kampung-kampung tematik ini, menurut Mohammad Cahyo - arsitek yang sedang meriset perihal kampung-kampung Surabaya dalam penelitian berjudul "Pentas Kota dalam Jagat Kampung" -, muncul pertama kali terinspirasi dari kota kecil bernama Oita di Jepang Selatan. Oita mengumumkan program "One Village, One Product" (OVOP) pada 2001, yang berarti "Satu kecamatan Satu produk unggulan".

Thailand menjadi negara berikutnya yang turut menggunakan program ini untuk mengurangi kemiskinan. Istilah mereka adalah "One Tambon, One Product" (OTOP). Lalu berturut-turut Cina, Filipina, Malaysia, juga Indonesia ikut terinspirasi. "Mantan gubernur Jawa Timur, Basofi Soedirman punya gerakan 'Kembali ke Desa'," kata Cahyo. Dengan kata lain, program ini sebetulnya bukan program asing bagi Surabaya.

Dalam program implementasi penanganan permukiman kumuh dari sisi ekonomi tahun 2011, Pemerintah Kota Surabaya memetakan kampung-kampung tematik di Surabaya. Ada 14 kampung tematik yang tersebar di berbagai wilayah di Surabaya; mulai dari Pusat hingga Barat. Di antaranya, Kampung Kue Basah di Tegalsari, Kampung Batik di Rungkut, Kampung Olahan Hasil Laut di Bulak, dan Kampung Sepatu di Tambak Osowilangon.

Sementara, Johan Silas, dkk dalam buku Kampung Surabaya Menuju Abad XXI: Kajian Penataan dan Revitalisasi Kampung di Surabaya (Bappeko, 2012) menyebutkan hanya 8 kampung tematik di Surabaya. Dengan catatan, "Kampung tematik dalam buku ini baru sebagian yang ditampilkan." Buku ini menyebutkan, di antaranya Kampung Lontong di Banyu Urip Lor, Kampung Daur Ulang di Gundih, Kampung Tas di Morokrembangan, Kampung Pertanian di Made, Kampung Pengolahan Limbah Mangrove di Kedungbaruk, dan lain-lain.

Salah satu kampung tematik yang aktif adalah Kampung Lontong. Ari Siswanto, Ketua Koperasi dan Paguyuban Kampung Lontong di Banyu Urip Lor, menyatakan, usaha lontong di Kampung Lontong ini sudah dimulai sejak 1990-an. Awalnya, hanya ada 1 atau 2 orang yang berjualan. Pemrakarsanya adalah Ramiya yang belajar membuat lontong dari Mbah Muntiyah puluhan tahun lalu (Silas, 2012). Pascakrisis moneter—sekitar tahun 1997-1998—mulai banyak lagi yang berjualan.

Paguyuban Kampung Lontong diresmikan pada tahun 2005. Koperasi Kampung Lontong baru berdiri pada tahun 2009. "Dulu itu, tahun 1940-1950-an, kampung (lontong) ini dikenal sebagai Kampung Tempe. Seisi kampung adalah pengusaha tempe. Lama-lama, harga kedelai mulai mahal dan banyak kendala lain, termasuk persaingan di antara pengusaha tempe yang semakin kompetitif. Banyak produsen tempe dari kota lain yang masuk Surabaya, sehingga tempe-tempe lokal tergeser. Kini, pembuat tempe di Banyu Urip Lor hanya tersisa tidak lebih dari 15 orang.

Marto (56 tahun) adalah salah satu produsen tempe di Banyu Urip Lor yang tersisa. Rumahnya kebetulan tidak jauh dari rumah Ari. Sampai kini, Marto masih melanjutkan produksi tempenya, sejak ia memulainya pada 1965.

Bapak, yang ketika ditemui sedang mencetak kedelai yang sudah diragi menjadi tempe, ini mengakui dulu sekitar tahun 1978 ketika ia pindah ke Banyu Urip Lor, kampung ini memang didominasi oleh produsen tempe. Dulu, satu RW kesemuanya adalah pembuat tempe. Produksinya bisa menghabiskan hingga 1,5 kuintal kedelai per hari. Konon, tempe buatan Banyu Urip punya rasa lebih enak dibanding tempe dari daerah lain karena terbuat dari kedelai asli tanpa bahan campuran.

Seiring waktu, harga kedelai semakin mahal. Sementara, pemasaran juga kurang baik. Banyak pengusaha tempe yang berhenti membuat tempe. Atau, banyak juga yang sudah meninggal dan anak-anaknya tidak ada yang meneruskan. Dihitung secara kasar, kini, produsen tempe di Banyu Urip Lor hanya tersisa 10 orang yang tinggal di RW006. Produksi tempenya pun berkurang banyak. Sekarang hanya menghabiskan sekitar 30 kg per hari.

Lontong lalu mengambil alih kekuasaan tempe. Di Kampung Lontong, tahun ini, ada nyaris 80-an produsen yang masih aktif membuat lontong. Hebatnya, Kampung Lontong di Banyu Urip Lor kini merupakan pengasup lontong di pasar-pasar tradisional se-Surabaya. Wow!
Dalam sehari, Kampung Lontong ini menghabiskan total 2.300 kg/hari. Ari sendiri bisa menghabiskan 70 kg, atau sekitar menghasilkan 1.500 lontong/hari. Omset kotor sekitar Rp1 juta, dengan keuntungan bersih Rp200 ribu-250 ribu.

"Selama bahan pokok masih ada dan harganya terjangkau, kita masih akan produksi," jelas Ari.
Ada pula Kampung Tas di Monokrembangan. Daerah ini terletak di sebelah utara Surabaya. Selain dikenal sebagai kampung yang padat penduduk, Monokrembangan juga disebut sebagai Kampung Tas.
Dalam buku Kampung Surabaya Menuju Abad XXI dikatakan usaha kerajinan tas, terutama tas untuk perempuan, ini sudah berdiri sebagai usaha bersama sejak 1976.

Atau, Kampung Jambangan yang fokus pada memisahkan sampah mulai dari tingkat rumah tangga dengan sampah basah, untuk dijadikan kompos. Kampung ini sudah dikenal di Surabaya. Lalu, produk daur ulangnya juga telah diekspor ke Jepang.

Namun, tidak seluruh kampung mampu bertahan. Kampung Bordir di Ngagel Madyo dan Kampung Sabun di Kedungbaruk sudah tidak ada sejak nyaris dua tahun yang lalu. Ibu Dwi, warga Kampung Sabun, mengatakan dengan ringkas saja alasan hilangnya kampung Sabun. "Kampungnya sudah tidak ada, tergerus karena munculnya pabrik-pabrik," kata Ibu Dwi.

Di luar itu, ada kenyataan lain yang tidak sesuai dengan harapan. Artinya, ada beberapa kampung yang salah persepsi. Ia hanya diprofesikan oleh segelentir orang dalam kampung tapi sudah dicap sebagai "kampung". Seperti, Kampung Jahit (yang ternyata adalah jejeran orang-orang usaha vermak jeans di pinggir jalan di Gubeng.

Biar bagaimanapun, kumpulan kampung tematik ini kenyataannya menjadi daya tarik tersendiri bagi kehidupan perekonomian di Surabaya. Konsep One Village, One Product bisa berhasil jika masyarakat punya keinginan untuk berkembang dan menjadi kreatif.

Apalagi, jika kampung-kampung yang memiliki ide dan kreativitas masing-masing ini bersinergi dan saling berkomunikasi, bukan tidak mungkin kesejahteraan masyarakat akan membaik. Dan, senada dengan hasil penelitian Mohammad Cahyo (noMADen), pada akhirnya kampunglah yang menggerakkan kota. Kampunglah yang akan memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukan kota.AREK
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kampung Tematik di Surabaya Rating: 5 Reviewed By: Unknown