728x90 AdSpace

 photo 720x90_zps7gcl6vrq.gif
Latest News
Selasa, 26 Maret 2013

Unjuk Kuasa dan Tawar Kuasa

Meski kekuasaan SBY berakhir pada 2014, berbagai kekuatan politik tak bisa mengabaikan faktor presiden de facto dalam peruntungan kontestasi pemilu. Itulah salah satu pesan simbolik pertemuan SBY dengan sejumlah pensiunan jenderal dengan beragam afiliasi politik. ---

Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, menerima telepon dari Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara, Sabtu malam 9 Maret lalu. Sudi mengabarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau bertemu Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Gerindra. "Saya tanya, kapan?" kata Fadli. Sebab, pada 11-12 Maret, Prabowo mau kampanye calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT). Sudi tak langsung menjawab. Esoknya, Minggu, Sudi kembali menelepon Fadli, mengabarkan bahwa presiden menjadwalkan Senin sore 11 Maret pukul 15.30.

"Akhirnya Pak Prabowo batal ke NTT," kata Fadli. Dia hanya tertawa saat disentil, jangan-jangan kalahnya jagoan Gerindra di NTT sepekan kemudian gara-gara Prabowo batal kampanye. Hasil hitung cepat, Minggu 18 Maret, jagoan Gerindra hanya menjadi runner-up. Pemenangnya, gubernur petahana usungan PDIP. Calon Demokrat, Benny K. Harman, terpuruk di nomor buncit.

Usai menyeleksi bakal caleg Gerindra dan mampir ke kantor Kedutaan Besar Venezuela, mengucapkan bela sungkawa atas wafatnya Presiden Hugo Chaves, Prabowo ditemani Fadli meluncur ke istana. Setiba di kantor presiden, setelah menunggu beberapa saat, Prabowo disambut presiden, didampingi Sudi Silalahi, Dipo Alam, dan Julian Aldrin Pasha. Selama 70 menit, seingat Fadli, presiden mendominasi pembicaraan dengan monolog capaian pemerintah, kondisi ekonomi Indonesia, kebijakan luar negeri, energi, dan pertanian.

Salah satu pernyataan penting dalam catatan Fadli, ketika presiden menyebut dirinya sebagai outgoing president, sedangkan Prabowo dinyatakan berpeluang meneruskan jejaknya menjadi presiden. Dalam sejumlah survei terakhir, posisi Prabowo memang sering masuk posisi dua teratas. Pernah paling tinggi. Baru sebulan terakhir tersalip Joko Widodo. Gerindra sendiri, peringkat kedelapan hasil Pemilu 2009, dalam survei belakangan menanjak masuk empat besar, bahkan pernah di atas Demokrat.

"Semua pembicaraan saya catat di balik kartu nama dan saya perhatikan jam ketika presiden mulai bicara sampai berhenti," ujar Fadli merekonstruksi. Setelah itu, Prabowo kebagian bicara sekitar 20 menit, memberi tanggapan atas kebijakan luar negeri, pilkada, energi, juga subsidi. Setelah itu, forum selesai. Fadli menyerahkan buku karyanya tentang Idris Sardi dan Hari-hari Terakhir Kartosoewirjo. Presiden lalu minta waktu bicara empat mata dengan Prabowo.

Catatan penting lain, seingat Fadli, sepanjang pertemuan dengan Prabowo, presiden tidak menyinggung sedikit pun tentang isu ancaman kudeta. Fadli tidak memaknai pertemuan kali itu sebagai upaya Demokrat merapat ke Gerindra. Tapi Fadli merasa ada gestur simpatik SBY kepada Prabowo dan sinyal baik dalam konteks politik. "Meski mungkin bukan Pak Prabowo saja yang diundang dari kalangan capres," ia menambahkan.

Perlu dicatat, 18 Januari silam, SBY juga menerima Jusuf Kalla (JK) ke istana. Elektabilitas JK dalam sejumlah survei masuk lima besar. Sedangkan 26 Desember 2012, SBY menerima Taufiq Kiemas dan Puan Maharani, tokoh PDIP, partai yang dalam banyak survei selalu masuk dua besar. PDIP dan Gerindra sama-sama "oposisi" di luar koalisi Setgab (Sekretariat Gabungan) pro-pemerintahan SBY.

Tapi, dengan Taufiq Kiemas, tokoh PDIP, dan Prabowo, ikon Gerindra, SBY memperlihatkan relasi positif. Satu-satunya "oposisi" yang SBY tidak memperlihatkan pendekatan spesial kepada elitenya adalah Hanura, partai pimpinan Jenderal (purnawirawan) Wiranto, mantan atasan SBY di TNI. Dengan Prabowo, SBY pernah bertemu di Istana Tampak Siring, Bali, 12 Mei 2012.

Dari sekian kali pertemuan SBY-Prabowo, menurut Fadli, pertemuan pekan lalu paling komprehensif. "Biasanya bicara permukaan atau nostalgia zaman dulu," kata Fadli. Prabowo lulus Akademi Militer di Magelang tahun 1974, SBY setahun lebih dulu, lulus tahun 1973. Dalam jumpa pers usai bertemu SBY, ketika ditanya pers apakah ini isyarat dukungan SBY pada pilpres 2014, Prabowo menjawab lugas, "Mudah-mudahan. Kalau saya, sih, ingin menjadi successor (pengganti).''

Fadli Zon memaparkan, partainya masih menjajaki berbagai kemungkinan. "Sekarang hanya wacana politik. Konfigurasi riilnya setelah pemilu legislatif," katanya. Karenanya, penjajakan dengan PAN, yang telah bergulir sebelumnya, dengan mewacanakan duet Prabowo dan Hatta Rajasa, masih menjadi opsi. Bahkan dengan PDIP pun, mitra koalisi dalam pilpres 2009, Fadli Zon yakin, Gerindra masih berpeluang bergandengan, meski dalam pilgub Jawa Barat sempat renggang.

Soal kerja sama dengan Demokrat, menurut Fadli, Gerindra menunggu Demokrat stabil. Politikus Demokrat, Ruhut Sitompul, menyatakan bahwa Demokrat bisa mendukung Prabowo bila Gerindra unggul atas Demokrat. Tapi, kata Ruhut, tidak mudah bagi Gerindra dari peringkat kedelapan naik jadi pemenang. "Itu bahasa diplomasi gua," kata Ruhut. Saat ini, Demokrat belum memiliki sosok capres dengan elektabilitas meyakinkan.
***

Usai pertemuan SBY-Prabowo, Jenderal (purnawirawan) Luhut Binsar Pandjaitan, yang belakangan santer dikabarkan menjadi tim sukses Aburizal Barkrie (ARB), langsung menghubungi Sudi Silalahi, minta dijadwalkan bertemu SBY. Luhut adalah senior Sudi dan SBY di Akademi Militer. Luhut lulusan terbaik 1970, Sudi lulus tahun 1972, dan SBY lulusan terbaik 1973. Luhut pernah jadi atasan langsung Prabowo. Luhut menjadi Komandan Detasemen 81 Anti-Teror Kopassus, dengan pangkat mayor, tahun 1983, Prabowo sebagai wakil komandan, berpangkat kapten.

Tak butuh waktu lama, Luhut dijadwalkan bertemu pada Rabu 13 Maret, dua hari setelah pertemuan SBY-Prabowo. Luhut ditemani dua purnawirawan jenderal bintang empat dan empat pensiunan bintang tiga. Ada Jenderal (purnawirawan) Subagyo Hadi Siswoyo, mantan Kasad, kini Ketua Hanura, Jenderal (purnawirawan) Fahrul Rozi, mantan Wakil Panglima TNI, deklarator Hanura yang kini sudah keluar, Letjen (purnawirawan) Agus Widjojo, mantan Kaster TNI pengganti SBY, Letjen (purnawirawan) Johny Lumintang, mantan Pangkostrad sehari pengganti Prabowo, Letjen (purnawirawan) Sumardi, dan Letjen (purnawirawan) Suaidi Marasabessy, mantan Kasum TNI, anggota Dewan Pembina Demokrat.

Komposisi tujuh jenderal itu, kata Luhut, tidak ditentukan SBY, tapi terbangun begitu saja atas inisiatif dan kedekatan antara mereka. "Kadang lebih (dari tujuh), kadang kurang. Tergantung yang ada di Jakarta saja," tutur Luhut. Pertemuan dengan presiden, kata Luhut, bukan kali itu saja. "Kami pernah ketemu di Cikeas dan istana. Biasanya malam. Tapi kali ini agak sore, jadinya banyak dilihat media," katanya sambil tertawa.

Ketujuh jenderal itu, meski beda afiliasi politik, sering berinteraksi. Luhut adalah pendiri kelompok usaha PT Toba Sejahtera sejak 2004, yang bergerak di bidang tambang, minyak, gas, listrik, pertanian, sampai hutan. Toba berkantor di Wisma Bakrie 2, lantai 17. Para jenderal itu kebanyakan pemegang saham. Mereka sering kongko diskusi sosial politik di Wisma Bakrie. Tapi Luhut menyangkal sebagai ketua tim sukses capres ARB.

"Aburizal Bakrie teman lama saya. Sudah kenal 35 tahun, sejak saya masih kapten," kata Luhut. Kalaupun membantu ARB, menurut Luhut, lebih karena faktor pertemanan. Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) DPP Golkar, selain membenarkan Luhut sebagai teman lama Ical, juga menjelaskan relasi strukturalnya. "Secara struktural, dia (Luhut) juga Wakil Ketua Wantim. Kalau secara pribadi, Ical dekat dengan Luhut," kata Akbar kepada pers di Gedung DPR, Jakarta, Jumat 15 Maret lalu.

Bursa capres pasca-SBY termasuk salah satu pembicaraan kunci dalam temu para mantan jenderal itu. Mereka mendiskusikan enam nama papan atas versi sejumlah survei capres. Suaidi Marasabessy kepada pers menjelaskan enam nama itu adalah Joko Widodo, Prabowo, Megawati, Mahfud MD, JK, dan ARB. Tapi yang pertama ditekankan Luhut usai pertemuan itu adalah sangkalan dukungan SBY kepada Prabowo. "Tidak ada dukungan spesifik kepada Prabowo," kata Luhut.

Luhut minta SBY tidak lepas tangan dalam menyiapkan capres penerus. "Kami sampaikan kepada Bapak Presiden agar beliau juga harus terlibat mencari pengganti yang akan datang, tentu kembali ke mekanisme pemilu," ujar Luhut kepada pers di istana. Luhut berharap, capres berikutnya bisa melanjutkan kisah sukses SBY. Salah satu kriteria presiden versi Luhut terkesan kurang cocok dengan sosok Prabowo.

"Punya stabilitas emosional yang baik," kata Luhut. "Jangan pula pemimpin yang terpilih nanti pemarah, temperamental, dan tiba-tiba mengatakan, kita perang. Kalau begitu, kita repot. Kita mesti punya pemimpin yang emosionalnya stabil." Sifat temperamentel dikenal lengket dengan sosok Prabowo. Tapi Luhut menolak dinyatakan tidak cocok dengan Prabowo. "Dia pernah jadi wakil saya, kok. Saya yang keluarkan perpanjangan paspornya ketika di Singapura, waktu dia dibuang ke Yordania," papar mantan Duta Besar RI untuk Singapura itu.

Rekam jejak Luhut dan Prabowo justru memperlihatkan beda "faksi". Dalam biografi Letjen (purnawirawan) Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, dikisahkan bahwa menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1983, Mayor Luhut Pandjaitan menghentikan rencana kontra-kudeta oleh Kapten Prabowo Subianto. Sebagai Wakil Komandan Detasemen 81, Prabowo menyiapkan pasukan untuk menculik Letjen L.B. Moerdani dan beberapa perwira lainnya yang dicurigai berniat mengudeta Presiden Soeharto. Aksi Prabowo itu tanpa sepengetahuan Mayor Luhut sebagai Komandan Detasemen 81. Singkat cerita, skenario Prabowo dapat dicegah.

Luhut dan Sintong dikenal sebagai "orangnya" L.B. Moerdani. Ketika pengaruh Moerdani surut di militer, karier Luhut jadi mentok. Sedangkan Prabowo terus menanjak. Sebaliknya, saat karier Prabowo terhenti tepat saat jatuhnya Soeharto, Luhut kembali terangkat ketika Presiden Habibie mengangkatnya menjadi duta besar untuk Singapura. Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, menggantikan Jusuf Kalla.

Analis politik, Hanta Yuda, melihat rangkaian pertemuan SBY dengan sejumlah pensiunan jenderal itu dalam tiga perspektif politik. Pertama, politik pencitraan. SBY hendak menyatakan bahwa dirinya seorang negarawan yang bisa menerima dan diterima semua kalangan. Kedua, politik sekuritas alias pengamanan politik, untuk mengamankan kepresidenan hingga 2014 dengan memainkan isu kudeta. Ketiga, dalam rangka politik elektoral menuju 2014.

Perspektif ini dapat lagi dibagi menjadi tiga. Pertama, konsep yang dirancang SBY untuk menjalin komunikasi dengan semua kekuatan politik. Kedua, penjajakan untuk melihat kemungkinan koalisi dengan siapa pun. Penjajakan tidak hanya dengan Prabowo, melainkan juga dengan kekuatan politik lain. Terlebih para jenderal yang dikenal berseberangan dengan Prabowo.

"Jadi, ada politik keseimbangan bahwa SBY tidak hanya dekat dengan Prabowo, melainkan juga dengan yang lain," kata Direktur Pol-Tracking Institute itu. SBY juga menunjukkan bahwa dia memegang peta politik 2014, sebagai penentu peta koalisi. Sebaliknya, bagi para jenderal, pertemuan itu adalah politik simbiosis mutualisme. ''Semua diuntungkan secara politis,'' kata Hanta.

Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, menolak analisis bahwa pertemuan itu untuk memproteksi politik SBY. Dipo memprediksi, dalam pilpres 2014, SBY tetap memegang peran penting menjadikan seseorang sebagai presiden. "SBY bisa menjadi king maker," katanya kepada pers di Jakarta.

"Saya titip pesan kepada yang berambisi jadi presiden, jangan memusuhi SBY. Jangan lakukan tindakan politik tidak cerdas, karena capres yang tidak didukung SBY bakal kalah pada pilpres mendatang," ujarnya memastikan. "Saya yakin, capres yang di-endors SBY, langsung atau tidak langsung, akan jadi presiden pada periode mendatang."  

Reporter : Asrori S. Karni, Cavin R. Manuputty, dan Flora Libra Yanti/GTR, melaporkan
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Unjuk Kuasa dan Tawar Kuasa Rating: 5 Reviewed By: Unknown